Selasa, 12 Juli 2011

TEBARKAN MAAF HINDARI PERMUSUHAN

Manusia itu makhluk sosial, begitu kata rata-rata ahli ilmu sosial. "Takdir" semacam itu jelas tak bisa dipungkiri. Dengan demikian, manusia tentu tak dapat hidup terpisah atau terasing, bahkan sebaliknya memiliki ketergantungan yang begitu tinggi, terhadap lingkungan sosialnya. Dalam kehidupan bersama, setiap orang punya beragam keperluan dan kepentingan. Pada titik inilah dibutuhkan berbagai peraturan dan norma-norma tertentu. Kalau tidak, bisa kita bayangkan, apa yang bakal terjadi! Antara satu dengan yang lainnya akan saling mengedepankan kepentingan atau kebutuhannya masing-masing, dan tak mau saling mengalah. Akibatnya pertikaian (baik antarpribadi, antarsuku, antarbangsa, dan antar-antar lainnya) akan mudah tersulut.

Pemberlakuan sistem norma dan aturan-aturan bertujuan antara lain untuk menjadi sarana perekat dan penguat bangunan kehidupan bersama. Lebih dari itu, setiap peraturan, norma, atau kontrak sosial ternyata akan membentuk perkembangan watak manusia. Tidak saja terjadi di seputar persoalan materi. Namun juga pada soal kejiwaan, khususnya jiwa persatuan. Jika suatu masyarakat merasakan persatuan lahir dan batin, yang berbentuk kesatuan jiwa secara menyeluruh, sudah pasti kehidupan ini akan tampak selalu indah, tentram, serta damai.

Satu kewajiban mendasar yang harus dipenuhi setiap orang tatkala hendak menjalin hubungan kemanusiaan dengan sesamanya adalah adanya kesiapan jiwa untuk memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Dalam al-Quran (3: 134), Allah Swt berfirman, "Yaitu orang-orang yang senantiasa menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memberi maaf atas kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan".

Apa yang termaktub dalam pernyataan al-Quran di atas memang sungguh luar biasa. Kita tidak menjumpai kata "meminta maaf" di situ, melainkan wal aafiina aninnas (memberi maaf kepada sesama manusia). Memang, pada kenyataannya, acapkali kita menjumpai orang yang amat mudah meminta maaf kendati itu tak lebih sekadar basa-basi, lantaran diucapkan sebelum ia melakukan apapun!), namun sangat jarang menemukan orang yang mau memberi maaf.

Pilihan pernyataan tersebut tentunya memiliki maksud-maksud yang suci, serta implikasi psikologis sangat mendalam. Sifat pemaaf merupakan penjelmaan lahiriah dari kehendak dan mawas diri yang kuat, serta perpaduan antara keteguhan hati dan kekuatan pikiran. Orang yang senantiasa memberi maaf akan merasakan ketenangan batin yang sedemikian indah. Itu terjadi lantaran seluruh tekanan jiwa yang menyumbat segenap pembuluh darah seakan-akan terbuka. Darinya akan segera terasa, bagaimana potensi rohaniah kita menjadi begitu bertenaga sehingga sanggup membebaskan diri dari tirani hawa nafsu. Memaafkan kekurangan orang lain memang bukan pekerjaan ringan. Apalagi bagi mereka yang watak dan karakternya telah dipasung sedemikian rupa oleh kebencian, kekerasan, dan dendam.

Selain berpengaruh pada jiwa si pemberi maaf tadi, sifat pemaaf juga akan berpengaruh kuat pada orang yang dimaafkan. Sampai-sampai mampu merubah pikiran serta perilakunya. Apalagi jika ia adalah seorang musuh. Begitu banyak kasus mengenai hubungan yang renggang dan bermusuhan menjadi baik karena sifat pemaaf, kebencian dan permusuhan yang telah berakar sangat dalam berubah menjadi kedamaian dan ketaatan yang menghiasi diri dan pemikirannya. Sayyid Musavi Lari dalam bukunya Psikologi Islam mengatakan, "Bakat terbesar manusia yang tidak dimiliki hewan adalah sifat pemaaf dan melupakan kesalahan-kesalahan orang lain. Ketika Anda dirugikan orang lain, Anda memiliki kesempatan yang baik untuk memaafkan dan menikmati perasaan batin atas sifat yang mulia ini. Kita diajarkan untuk memaafkan musuh-musuh kita.

Melakukan tindakan balas dendam terhadap lawan, akan menempatkan diri pada tempat yang sama dengan musuh, karena telah melakukan hal sama dengannya, bahkan telah menjadi pengikutnya. Tetapi Anda akan mendapatkan kemuliaan jika Anda mau memaafkan kesalahannya. Menghadirkan sifat pemaaf memaksa musuh-musuh untuk bertekuk lutut yang akan memiliki pengaruh psykologis dan mengajarkan sifat rendah hati. Adalah wajib bagi kita untuk bersikap baik ketika orang lain melanggar, karena kebaikan merupakan kebajikan surgawi, yang dengan itu alam semesta dan para penghuninya dapat hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.

Akibat-Akibat Permusuhan dan Kebencian

Salah satu beban psikologis yang begitu berat dirasakan dan berbahaya bagi kehidupan manusia adalah permusuhan dan memendam perasaan benci terhadap orang lain. Sedemikian membebaninya sehingga dapat mempengaruhi kebahagiaan dan ketenangan manusia. Benci dan dendam tumbuh dari sifat amarah yang dapat merusak keseimbangan rohani. Bertentangan dengan sifat pemaaf -- yang merupakan unsur kebaikan, keseimbangan jiwa, kedamaian dan keharmonisan -- kebencian dan permusuhan adalah penyebab lahirnya perselisihan dan perpecahan yang merupakan wujud nyata dari kejahatan rohani. Permusuhan, jika terjadi, memiliki akibat-akibat yang menyakitkan dan sukar untuk mendapatkan pengobatannya. Seseorang dapat mengorbankan kesadarannya karena pengaruh kebencian dan permusuhan dan merambah hampir ke seluruh organ tubuhnya sehingga menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri.

Menurut para psikolog bahwa, "Benci dan permusuhan berangkat dari kegoncangan mental, yang mempengaruhi seluruh struktur kesadaran berfikir manusia. Manusia akan kelihalangan sensitifitasnya dan berusaha melakukan tindakan balas dendam dengan berbagai cara yang memungkinkan, untuk merugikan orang lain".

Imam As-Sajjad Ali Zainal Abidin salah seorang cucu Rasulullah saww yang terkenal karena banyaknya bersujud, suatu hari bersama para sahabatnya didatangi seseorang yang mencerca dan memaki beliau. Imam berkata kepada para sahabatnya, "Kalian mendengar apa yang dikatakan orang ini kepadaku, aku ingin kalian ikut dan mendengar jawabanku padanya". Para sahabatnya berkata,"Kami akan ikut bersamamu". Imam berjalan menuju ke rumah lelaki itu seraya membacakan ayat Al-Quran : "Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan adakah yang mengampuni selain dari pada Allah. Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. 3: 135).

Sampai di rumah orang tersebut, Imam memberitahukan kepadanya bahwa dia adalah Ali bin Husain. Lelaki itu keluar dan bersiap-siap. Ia yakin bahwa Imam akan membalasnya. Ketika lelaki itu muncul, Imam as-Sajjad berkata, "Saudaraku ! Anda telah datang kepadaku dan telah mengatakan sesuatu tentangku. Apabila yang Anda katakan itu adalah benar aku mohon ampun dari Allah, dan jika yang Anda tuduhkan padaku itu tidak benar, aku memohon kepada Allah untuk mengampunimu". Lelaki itu mendengar seraya menciumi Imam dan berkata: "Sesungguhnya aku menuduhmu padahal engkau tidak bersalah, kata-kata ini telah menyadarkan aku". Kata-kata Imam mempengaruhi rohani lelaki itu dan sekaligus membebaskannya dari penderitaan dan menunjukkan padanya tanda-tanda kesedihan dan penyesalan.

Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman, "Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan, tolaklah kejahatan dengan cara terbaik, maka tiba-tiba orang yang diantara mu dan dia ada permusuhan, seolah-olah teman setia". (QS. 41:34). Sifat dendam ketika memiliki kekuatan dalam diri manusia akan memberikan pengaruh yang demikian besar dalam meruntuhkan hubungan kemanusiaan. Dan karenanya keberadaan sifat pemaaf harus dihadirkan sedemikian rupa supaya dapat menjadi senjata pertahanan untuk melawan persekongkolan para pelaku kejahatan (syetan) dalam diri kita.

Orang yang dengki dibebani dengan sejenis perasaan tanpa belas kasih dan kekurangan sifatnya pemurah. Disamping sangat mudah marah dan tersinggung juga dapat dapat melumpuhkan semua ruang-ruang kebajikan karena siksaan penderitaan rohani yang mendalam dan terus menerus. Dr. Dale Carniege menulis dalam bukunya, How to win Friends and Influence People, "Ketika kita menyembunyikan kebencian dan permusuhan di dalam hati terhadap musuh-musuh kita, sebenarnya kita memberi mereka kontrol terhadap makan, minum, tidur, kesehatan, kebahagiaan kita, dan bahkan tekanan darah kita. Sebenarnya kita membuat mereka mengendalikan hal ini melalui diri kita. Kebencian kita terhadap mereka tidaklah melukai mereka sedikitpun, kecuali justru mengubah kehidupan kita menjadi neraka yang tidak tertanggungkan".

Jalan satu-satunya yang dapat dilakukan untuk memperoleh keharmonisan rohani, kesadaran dan ketinggian mentalitas kita ialah ketika kita telah mampu mengusir dan menghapus noda kebencian dari hati kita. Dan hanya dengan itulah kemudian semua pranata sosial budaya dapat dibangun dalam komunitas manusia. Dengan menghapus kebencian dan dendam maka hati dan akalnya akan lembut dan sejuk. Semakin manusia menjauhkan dirinya dari kemubaziran dan pengumbaran amarah serta kebencian maka kebahagiaan dan kebebasan akan tumbuh dalam dirinya. Manusia akan keluar dari penjara-penjara rohani dan dengan sendirinya menguatkan benteng pertahanan dalam dirinya terhadap hasutan dan propaganda syetan, Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar